Bolehkah Membahas Persoalan Hubungan Seks? |
Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa membahas persoalan seksual adalah hal yang tabu. Pembahasan masalah seksual dianggap tidak layak karena itu adalah sesuatu yang privasi. Alasan klasik yaitu bahwa hubungan seksual adalah fitrah manusia jadi tidak perlu dibahas dan dipelajari. Alasan lainnya yaitu membahas seksual akan menimbulkan dampak buruk. Lalu Bagaimanakah Islam mendudukkan masalah ini?
Karim Asy-Syadzili dalam Juru’at minal Hub menyatakan, “Membicarakan hubungan seksual, bahkan dengan detail dan rinci juga menyebut anggota tubuh atau organ seks dengan tujuan ilmu dan wawasan merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Tidak boleh ada kecanggungan di dalamnya.”
Beliau mengutip pendapat Syaikh Abdul Halim Abu Syaqqah, “Menyebut-nyebut organ seks dan membahas hubungan seksual secara detail demi mencari ilmu pengetahuan adalah diperbolehkan.”
Beliau menyebutkan beberapa nash hadits yang menyebut hubungan seks antara suami-istri dengan tujuan pembelajaran bagi kaum mukminin sebagai salah satu bagian dari urusan agama dan dunia mereka.
Umar menyebut di hadapan Rasulullah bahwa dia berada di dalam keadaan junub pada suatu malam. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Berwudhulah, kemudian cucilah kemaluan (dzakar) kamu, kemudian kembali tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sahabar Jabir, ia berkata, “Rasulullah sampai pada waktu pagi, hari keempat bulan Dzulhijjah, tatkala kami sampai, Rasulullah memerintahkan kami untuk bertahallul dan menuju istri-istri kami. Kemudian kami datang pada hari Arafah sementara air madzi menetes dari kemaluan (dzakar) kami.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sahabat Jabir, ia berkata, “Orang Yahudi berkata bahwa kami bersenggama dari belakang (dalam satu riwayat Imam Muslim, bahwa aku mendatangi seorang perempuan melalui punggungnya). Kemudian turun firman Allah, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam. Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki ...[QS. Al-Baqarah: 223]” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada suatu hari kami pernah bertanya kepada Aisyah tentang air mani yang mengenai baju, kemudian ia menjawab, “Aku pernah mencuci baju Rasulullah , kemudian beliau keluar untuk shalat dan bekas dari cucian itu masih ada pada bajunya layaknya bekas pecikan air.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia sedang haid?” Rasulullah menjawab, “Kencangkanlah sarungnya, kemudian bagianmu adalah atasnya.” (Lihat Al-Muwwatha’ karangan Imam Malik)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berbicara tentang senggama, “Jika mendapat hal itu pada wajah yang baik, akhlak yang menggoda, rasa cinta yang menggelora, kehendak yang memuncak, serta harapan menggapai pahala, maka itulah kenikmatan yang tiada bandingannya dengan sesuatau apapun.
“Terlebih lagi jika kesempurnaannya, sesungguhnya ia tidak akan sempurna kecuali setiap bagian anggota tubuh mengambil dan merasakan bagian kelezatannya. Mata terpesona melihat wajah orang yang kita sayangi, telinga mendengar desahannya, hidung mencium bau wanginya, mulut mencium, tangan meraba, sehingga setiap anggota tubuh kita berhenti di setiap bagian tubuh pasangan di tempat yang dikehendaki untuk merasakan kelezatannya, begitupun dengan pasangan kita.”
Ibnu Qayyim pun berkata tentang pentingnya bercumbu sebelum melakukan hubungan seksual, “Salah satu yang mesti dilakukan sebelum melakukan senggama dengan istri adalah kita hendaknya bercumbu, menciumnya terlebih dahulu dan mengulum lidahnya. Karena Rasulullah pun bercumbu dengan istri-istrinya dan menciumnya terlebih dahulu. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya bahwa Rasulullah mencium Aisyah dan mengulum lidahnya. Sedang posisi yang paling baik ketika bersenggama adalah lelaki di atas dan perempuan di bawah, menungganginya selepas bercumbu dan menciumnya, dengan posisi ini perempuan laksana ranjang.”
Referensi:
Asy-Syadzili, Karim. Juru’at minal Hub. Terjemahan: Andi Subarkah. 2010. Tamasya di Ranjang Asmara. Cetakan ke-3. Surakarta: Insan Kamil